Supardi, Perajin Batik Asal Batang yang Menjaga Warna Alam Tetap Hidup

Batang - Di Desa Denasri Kulon, Kabupaten Batang, seorang pria bernama Supardi menenun harapan lewat setiap guratan canting dan sapuan warna alami. Sejak lebih dari satu dekade lalu, ia memilih jalan berbeda dari kebanyakan perajin, menciptakan batik dengan pewarna alam, hasil racikan dari kulit kayu, buah, dan daun yang tumbuh di sekitarnya.
Batang - Di Desa Denasri Kulon, Kabupaten Batang, seorang pria bernama Supardi menenun harapan lewat setiap guratan canting dan sapuan warna alami. Sejak lebih dari satu dekade lalu, ia memilih jalan berbeda dari kebanyakan perajin, menciptakan batik dengan pewarna alam, hasil racikan dari kulit kayu, buah, dan daun yang tumbuh di sekitarnya.
“Saya
ingin batik ini menyenangkan untuk dilihat, anggun dengan pewarna alami. Pewarna
alami, racikan sendiri. Sejak 2011, menekuni teknik pewarnaan alami yang kini
menjadi ciri khas batiknya,” katanya saat ditemui di rumah Produksi, Desa
Denasri Kulon, Kabupaten Batang, Selasa (14/10/2025).
Ia
memanfaatkan bahan-bahan dari alam seperti kulit kayu mahoni untuk warna merah,
kayu tingi untuk merah tua, buah jalawe untuk kuning, kayu tegeran untuk kuning
muda, dan daun indigo untuk menghasilkan biru tua.
“Semua
diracik sendiri. Saya kemas jadi satu supaya batik kami punya warna yang indah
dan mengesankan. Kami punya teknik sendiri, warna kami lebih cerah dan tahan
lama,” jelasnya.
Dedikasinya
terhadap batik warna alam berbuah manis. Beberapa waktu lalu, pewarna alami
racikan Supardi resmi dipatenkan, menjadi bukti pengakuan atas inovasi yang ia
kembangkan bertahun-tahun.
“Alhamdulillah,
pewarna alam kami sudah dipatenkan. Ini jadi semangat baru untuk terus berkarya,”
ungkapnya.
Di
tengah industri tekstil modern yang serba cepat dan kimiawi, Supardi justru
memilih kembali ke akar alam. Ia percaya, keindahan sejati datang dari proses
yang selaras dengan lingkungan.
“Pewarna
alam itu limbahnya aman, air tidak tercemari, sehingga lingkungan sekitar juga
tetap bersih. Saya berharap para pembatik ikut menggunakan pewarna alam sebagai
bentuk menjaga alam,” terangnya.
Pilihan
itu bukan tanpa tantangan. Di tengah fluktuasi pasar batik, produk warna alam
belum sebesar batik sintetis dari sisi produksi maupun permintaan. Namun,
Supardi tetap teguh.
“Pasar
memang naik turun, tapi saya yakin batik warna alam akan kembali diminati.
Orang mulai mencari yang alami dan ramah lingkungan,” tegasnya
Kini,
karya Supardi tak hanya dikenal di Batang. Produk batiknya telah dipasarkan ke
Solo, Yogyakarta, Medan, Kalimantan, hingga Jakarta. Dalam berbagai pameran,
batik pewarna alam racikannya kerap menjadi primadona.
“Alhamdulillah,
setiap pameran dari Pemkab Batang selalu meminta produk kami untuk ditampilkan.
Peminatnya pun banyak,” ujar dia.
Harga
batik karya Supardi dijual dengan harga Rp1 juta hingga Rp2 juta, tergantung
pada motif dan tingkat kerumitan pengerjaan.
Bagi
Supardi, batik bukan sekadar kain, melainkan warisan budaya yang hidup dari
alam dan untuk alam. Ia berharap, generasi muda Batang bisa meneruskan semangat
ini menjaga tradisi, menghargai alam, dan bangga pada karya lokal.
“Saya
hanya ingin batik Batang terus hidup, dengan warna yang alami, indah, dan jujur
seperti alam yang menginspirasinya,” pungkasnya. (MC Batang, Jateng/Roza/Jumadi)