Home / Berita / Pendidikan dan Latihan / CANGGIHNYA DIGITALISASI SASTRA, TAK MENGGESER MADING KONVENSIONAL

Berita

Canggihnya Digitalisasi Sastra, Tak Menggeser Mading Konvensional

Batang - Majalah dinding (mading) yang marak di era 90 hingga 2000-an, mulai digencarkan kembali oleh para pelajar SMKN 1 Batang. Meski persaingan dengan teknologi digital makin sengit, namun geliat itu ditunjukkan lewat digelarnya lomba mading, agar kemampuan literasi dan tulis anak tidak tergeser oleh kecanggihan teknologi informasi.

Batang - Majalah dinding (mading) yang marak di era 90 hingga 2000-an, mulai digencarkan kembali oleh para pelajar SMKN 1 Batang. Meski persaingan dengan teknologi digital makin sengit, namun geliat itu ditunjukkan lewat digelarnya lomba mading, agar kemampuan literasi dan tulis anak tidak tergeser oleh kecanggihan teknologi informasi.

Ketua Panitia sekaligus guru bahasa Indonesia Kiki Oktavia mengatakan, meskipun setiap harinya berkutat dengan aktivitas pelajaran kewirausahaan, ternyata kreativitas anak dalam mengolah kata dan sastra makin lihai.

“Dari tata letak, redaksi dan konten dibuat sendiri, mereka punya potensi yang diibaratkan berlian terpendam dan perlu diberi ruang berkarya,” katanya, saat memantau proses pembuatan mading, untuk memeriahkan Bulan Bahasa, di ruang kelas SMKN 1 Batang, Kabupaten Batang, Jumat (4/10/2024).

Melihat antusiasme warga sekolah, even ini akan digelar rutin tiap bulannya, yang dirutinkan setiap kelas bergantian dengan tema berbeda-beda. “Kelas di sini beragam, jadi bisa dinikmati sambil berkeliling karena karya mading anak akan dipajang di belakang kelas,” jelasnya.

Salah satu perwakilan peserta Farela kelas X DKV 1 mengungkapkan, madingnya berjudul "TEKAT" atau Tempelan Karya DKV Satu bertema adat Jawa. “Di dalamnya beragam karya sastra teman-teman, seperti komik "Kehilangan", puisi "Kasih Sayang kepada Ibu" dan lainnya,” tuturnya.

Ia tak mempermasalahkan dengan digitalisasi karya sastra, namun tetap saja ada sisi lebih dan kurangnya.

“Memang enak tinggal baca di hp, tapi kekurangannya kita jarang berinteraksi dan mata jadi cepat sakit. Lebih asyik baca karya sastra konvensional di perpustakaan, setidaknya sepekan sekali,” ungkapnya.

Terkait bulan bahasa, ia menyayangkan penggunaan tata bahasa Indonesia yang diucapkan bercampur bahasa daerah (Jawa). “Selain tidak tepat dalam pengucapan, ketika didengar pun jadi aneh karena tidak ada kesesuaian,” ujar dia.

Beragam even lain juga digelar untuk memeriahkan Oktober sebagai bulan bahasa. Di antaranya workshop revitalisasi perkabaran sekolah, parade karya sastra, penerbitan buku dan uji kompetensi bahasa Indonesia. (MC Batang, Jateng/Heri/Sri Rahayu)