Home / Berita / Acara Pimpinan Daerah / CEGAH PERUNDUNGAN, SEKOLAH WAJIB PANTAU PENDIDIK DAN SISWA

Berita

Cegah Perundungan, Sekolah Wajib Pantau Pendidik dan Siswa

Batang - Perilaku perundungan yang rawan terjadi di lingkungan pendidikan dan merupakan satu dari tiga dosa besar pendidikan lainnya yakni kekerasan seksual dan intoleransi, masih menjadi konsentrasi Pemkab Batang bersama para pendidik. Untuk mencegah meluasnya perilaku tersebut, Pemkab bersama Kejaksaan Negeri menggelar penyuluhan hukum tentang pencegahan perundungan melalui guru ramah anak, yang dihadiri para kepala sekolah untuk jenjang SMP negeri maupun swasta se-Kabupaten Batang.

Batang - Perilaku perundungan yang rawan terjadi di lingkungan pendidikan dan merupakan satu dari tiga dosa besar pendidikan lainnya yakni kekerasan seksual dan intoleransi, masih menjadi konsentrasi Pemkab Batang bersama para pendidik. Untuk mencegah meluasnya perilaku tersebut, Pemkab bersama Kejaksaan Negeri menggelar penyuluhan hukum tentang pencegahan perundungan melalui guru ramah anak, yang dihadiri para kepala sekolah untuk jenjang SMP negeri maupun swasta se-Kabupaten Batang.

Penjabat (Pj) Bupati Batang Lani Dwi Rejeki mengatakan, maraknya peristiwa perundungan maupun kekerasan seksual, mendorong digelarnya sosialisasi ini dengan nara sumber dari Kejaksaan Negeri, menurut sudut pandang hukum.

“Para kepala sekolah nantinya harus melakukan pengawasan yang intensif baik pada pendidik maupun anak didiknya, selama Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) berlangsung, termasuk saat jam istirahat. Khusus untuk pendidik harus dilakukan evaluasi berkala tiap bulan sekali, agar mengetahui kendala dan kondisi saat KBM, sehingga ketika muncul masalah bisa dicari solusi terbaik,” katanya, saat membuka kegiatan penyuluhan hukum tentang pencegahan perundungan melalui guru ramah anak, di Aula SMPN 1 Kandeman, Kabupaten Batang, Rabu (1/3/2023).

Para kepala sekolah harus memberikan perhatian ekstra terhadap kerawanan terjadinya tiga dosa besar dalam dunia pendidikan tersebut. Para pendidik tidak hanya diwajibkan menyampaikan materi-materi yang bersifat formal, namun juga edukasi seputar moral anak.

Ia mengakui, semakin majunya pola pikir, teknologi dan kesadaran akan hukum, maka banyak diantara orang tua murid merasa kurang nyaman dengan pembinaan yang berlebihan dari pendidik, hingga terkadang ada oknum pendidik yang melakukan kekerasan fisik.

“Orang tua tidak terima akhirnya ada yang melaporkan ke pihak sekolah atau bahkan yang berwajib. Tapi sebetulnya sepanjang pembinaan yang diberikan masih dalam batas-batas kewajaran, itu sebagai wujud edukasi kepada anak didik, agar anak bisa mengambil pelajaran dan tidak mengulangi hal serupa,” tegasnya.

Namun apabila pembinaan yang diberikan berbentuk sanksi bersifat edukatif seperti berdiri di lapangan dan memberikan penghormatan kepada Sang Merah Putih, masih dalam batas kewajaran dan justru mengandung nilai edukasi agar anak memiliki jiwa nasionalisme.

Sementara itu, Kepala Seksi Intelejen Kejaksaan Negeri Batang, Ridwan Gaos Natasukmana menyampaikan, terdapat sedikit pergeseran tentang cara masyarakat menyikapi suatu proses pembinaan yang dilakukan oleh pendidik. Jika di masa lalu, orang tua mendukung pendidik mengedukasi anak dengan cara yang diizinkan pada masanya, misalnya dengan melempar kapur tulis atau penghapus saat siswa berbicara saat KBM, namun kini sudah terjadi pergeseran pola edukasi yang mengharuskan pendidik lebih santun terhadap anak didiknya.

“Dulu ketika anak mendapatkan hukuman dari guru karena melakukan kesalahan, pasti tidak berani melapor ke orang tua karena takut dimarahi. Nah berbeda dengan zaman sekarang yang harus lebih ditekan lagi agar tidak berpotensi melanggar hukum, karena sebetulnya dari dulu pun sudah diatur dalam undang-undang,” jelasnya.

Ia menegaskan, penyuluhan hukum ini sebagai upaya meminimalisir tindakan-tindakan yang berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum. Tidak selamanya anak selalu menjadi korban perundungan, karena faktanya anak pun bisa menjadi pelaku kepada sebayanya.

“Jangan sampai ada pembiaran karena bisa menghentikan produktivitas mereka karena tersandung masalah hukum. Ketika pelaku kekerasan adalah anak di bawah umur, tentu perlakuannya berbeda dengan orang dewasa, contoh ketika sesama anak memukul, hukumannya hanya 2,5 tahun atau setengah dari masa hukuman orang dewasa, dengan mengacu pada Undang-undang perlindungan anak pasal 80 tentang kekerasan terhadap anak,” ujar dia. (MC Batang, Jateng/Heri/Jumadi)