Home / Berita / Ekonomi / KIPRAH BATIK RIFAIYAH BATANG DI KANCAH INTERNASIONAL

Berita

Kiprah Batik Rifaiyah Batang di Kancah Internasional

Batang - Mengenakan busana bermotif batik kini menjadi sebuah kebanggaan masyarakat Indonesia, setelah ditetapkannya batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi pada 2 Oktober 2009 oleh Unesco.

Batang - Mengenakan busana bermotif batik kini menjadi sebuah kebanggaan masyarakat  Indonesia, setelah ditetapkannya batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi pada 2 Oktober 2009 oleh Unesco.

Salah satu batik yang menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Batang, khususnya Desa Kalipucang, adalah Batik Rifaiyah yang mulai pembuatan hingga motifnya syarat akan makna keagamaan.

Pembatik Rifaiyah, Miftakhutin dari Desa Kalipucang Wetan menuturkan, ditetapkannya Hari Batik Nasional membuat dirinya bersama para pelaku UMKM batik lainnya makin termotivasi menghasilkan karya-karya unik lainnya.

“Mempertahankan budaya yang telah diwariskan oleh para pendahulu, menjadi tugas penting bagi generasi muda, supaya tidak hilang dan tetap lestari hingga anak cucu di masa depan,” kata Mbak Utin sapaan akrabnya, saat ditemui di kediamannya, Desa Kalipucang Wetan, Kabupaten Batang, Jumat (2/10/2020).

Dinamakan Batik Rifaiyah, karena para pembatik merupakan santri dari Syekh Ahmad Rifai dengan beragam corak dan motif yang dihasilkan.

Ada Batik Tiga Negeri yakni Lancur, Gemblong Sak Iris, Kotak Kitir, Ila Ili. Ada pula Bang Biron seperti Pelo Ati, Nyak Pratin, Gendakan dan Liris. Para peminatnya tidak hanya dari lokal dan nasional saja, namun hingga ke kancah internasional melalui wisatawan yang datang langsung ke griya batik.

Batik-batik yang dijual mulai dari Rp500 ribu hingga termahal Rp3,5 juta yang pernah dipesan oleh Afifi Syakkur, seorang pengusaha dan kolektor batik asal Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Tak hanya pecinta batik dalam negeri, sejumlah wisatawan mancanegara pun menaruh perhatian istimewa pada motif-motifnya antara lain dari Jerman, Amerika Serikat, Singapura, Jepang, Thailand, Korea dan masih banyak lagi,” ujarnya.

Pembatik di Desa Kalipucang Wetan sampai saat ini berjumlah 100 orang, yang terdiri dari usia 25-70 tahun.

Ia memaparkan, generasi milenial lebih tertarik dan bangga untuk menjadi marketing untuk memasarkan produk asli Desa Kalipucang.

“Mayoritas pembatik berusia senja, karena jumlah pembatik muda hanya sebanyak 10 orang. Untuk regenerasi sejak dini, diperlukan pelatihan khusus mulai dari pihak sekolah yang memasukkan pelajaran membatik ke dalam muatan lokal,” tuturnya.

Di masa pandemi memang para pengrajin sedikit mengalami kesulitan untuk memasarkan ke konsumen. Namun pihaknya sedikit tertolong dengan masih banyaknya konsumen dari berbagai instansi Pemerintah Kabupaten Batang yang masih setia dengan Batik Rifaiyah.

“Proses produksi tetap stabil, hanya penjualan yang mengalami penurunan hingga 50%. Semula tiap pekannya bisa menjual lebih dari 25 buah, tapi semenjak ada Covid-19 hanya  mampu menjual 5-10 buah,” tandasnya.

Sementara itu, ditemui secara terpisah, Kepala Bidang Koperasi dan UKM, Disperindagkop dan UKM Batang, Budi Santosa mengatakan, Hari Batik Nasional menjadi stimulus bagi pengrajin batik supaya lebih menunjukkan eksistensinya dalam menerapkan ide-ide kreatifnya yang dituangkan berbentuk seni membatik.

“Teman-teman pembatik harus disemangati untuk produksi dan masyarakat yang ikut membeli, jadi sama-sama saling menopang perekonomian lokal, agar tetap hidup dan berputar,” imbaunya.

Ia menambahkan, melalui peringatan Hari Batik Nasional, Disperindagkop dan UKM berupaya mendorong seluruh pihak menghidupkan UKM di bidang perbatikan khususnya Batik Rifaiyah yang tetap eksis di tengah pandemi Covid-19. (MC Batang, Jateng/Heri/Jumadi)